KUNJUNGAN KE MONUMEN
MANDALA
(PEMBEBASAN IRIAN
BARAT)
Operasi Trikora, juga disebut Pembebasan Irian Barat, adalah konflik 2 tahun
yang dilancarkan Indonesia untuk menggabungkan wilayah Papua bagian barat. Pada
tanggal 19 Desember 1961, Soekarno (Presiden Indonesia) mengumumkan pelaksanaan
Trikora di Alun-alun Utara Yogyakarta. Soekarno juga membentuk Komando Mandala.
Mayor Jenderal Soeharto diangkat sebagai panglima. Tugas komando ini adalah
merencanakan, mempersiapkan, dan menyelenggarakan operasi militer untuk
menggabungkan Papua bagian barat dengan Indonesia.
Ketika Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945, Indonesia mengklaim seluruh wilayah Hindia Belanda, termasuk wilayah barat Pulau Papua. Namun demikian, pihak Belanda menganggap wilayah itu masih menjadi salah satu provinsi Kerajaan Belanda. Pemerintah Belanda kemudian memulai persiapan untuk menjadikan Papua negara merdeka selambat-lambatnya pada tahun 1970-an. Namun pemerintah Indonesia menentang hal ini dan Papua menjadi daerah yang diperebutkan antara Indonesia dan Belanda. Hal ini kemudian dibicarakan dalam beberapa pertemuan dan dalam berbagai forum internasional. Dalam Konferensi Meja Bundar tahun 1949, Belanda dan Indonesia tidak berhasil mencapai keputusan mengenai Papua bagian barat, namun setuju bahwa hal ini akan dibicarakan kembali dalam jangka waktu 1 tahun.
Ketika Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945, Indonesia mengklaim seluruh wilayah Hindia Belanda, termasuk wilayah barat Pulau Papua. Namun demikian, pihak Belanda menganggap wilayah itu masih menjadi salah satu provinsi Kerajaan Belanda. Pemerintah Belanda kemudian memulai persiapan untuk menjadikan Papua negara merdeka selambat-lambatnya pada tahun 1970-an. Namun pemerintah Indonesia menentang hal ini dan Papua menjadi daerah yang diperebutkan antara Indonesia dan Belanda. Hal ini kemudian dibicarakan dalam beberapa pertemuan dan dalam berbagai forum internasional. Dalam Konferensi Meja Bundar tahun 1949, Belanda dan Indonesia tidak berhasil mencapai keputusan mengenai Papua bagian barat, namun setuju bahwa hal ini akan dibicarakan kembali dalam jangka waktu 1 tahun.
Pada bulan Desember 1950, PBB memutuskan bahwa Papua bagian
barat memiliki hak merdeka sesuai dengan pasal 73e Piagam PBB. Karena Indonesia
mengklaim Papua bagian barat sebagai daerahnya, Belanda mengundang Indonesia ke
Mahkamah Internasional untuk menyelesaikan masalah ini, namun Indonesia
menolak. Setelah Indonesia beberapa kali menyerang Papua bagian barat, Belanda
mempercepat program pendidikan di Papua bagian barat untuk persiapan
kemerdekaan. Hasilnya antara lain adalah sebuah akademi angkatan laut yang
berdiri pada 1956 dan tentara Papua pada 1957. Sebagai kelanjutan, pada 17
Agustus 1956 Indonesia membentuk Provinsi Irian Barat dengan ibukota di Soasiu
yang berada di Pulau Tidore, dengan gubernur pertamanya, Zainal Abidin Syah
yang dilantik pada tanggal 23 September 1956.
Pada tanggal 6 Maret 1959, harian New York Times melaporkan
penemuan emas oleh pemerintah Belanda di dekat laut Arafura. Pada tahun 1960,
Freeport Sulphur menandatangani perjanjian dengan Perserikatan Perusahaan
Borneo Timur untuk mendirikan tambang tembaga di Timika, namun tidak menyebut kandungan
emas ataupun tembaga.
Demikian sejarah singkat tentang Operasi Trikora, kembali
kepada perjalanan ini, ternyata di dalam monumen terdapat biorama yang dapat
dilihat sebagai cacatan sejarah bangsa ini.
Monumen/Prasasti Anggota TNI Yang Gugur/Hilang Tercatat 215 Orang
Catatan Sejarah Di Monumen Mandala
Tri Komando Rakyat (19 Desember 1961)
Sehubungan
dengan sikap Belanda yang tidak bersedia menyelesaikan konflik Irian Barat
melalui forum PBB, Pemerintah RI tidak bersedia lagi melakukan perundingan.
Sejak saat itu Pemerintah RI menitikberatkan perjuangan pembebasan Irian Barat
dalam bidang militer. Sebagai tindak lanjut pada tanggal 19 Desember 1961 di
Alun-Alun Yogyakarta Presiden Soekarno mengkomandokan Tri Komando Rakyat
(TRIKORA) yang berbunyi sebagai berikut:
- Gagalkan pembentukan Negara Boneka Papua buatan Belanda;
- Kibarkan Sang Merah Putih di irian Barat tanah Air Indonesia;
- Bersiaplah untuk mobilisasi umum guna mempertahankan kemerdekaan dan kesatuan tanah air dan bangsa.
Mobilisasi Umum, 4-8 Januari 1962 di Makassar
Tindak
lanjut dari TRIKORA, maka di seluruh Indonesia mulai dari tigkat Pusat dan
Daerah dilakukan mobilisasi umum dalam rangka pembebasan Irian Barat. Seluruh
kekuatan cadangan Nasional dikerahkan. Sebelum dilakukan mobilisasi umum
didahului dengan kampanye melalui rapat-rapat raksasa mulai dari tingkat Pusat
hingga Daerah. Pada tanggal 4 s.d. 8 Januari 1962 di Lapangan Karebosi Makassar
diadakan rapat raksasa dalam rangka pembebasan Irian Barat. Dalam rapat itu
hadir Presiden Soekarno, Kepala Staf Angkatan Darat Jenderal A.H. Nasution dan
Panglima Daerah Militer XIV/Hasanuddin. Pada kesempatan itu Presiden Soekarno
mengatakan "Rebut Irian Barat sebelum Ayam Berkokok".
Pelantikan Panglima Mandala di Istana Bogor
oleh Presiden Soekarno, 13 Januari 1962
Setelah Trikora dikomandokan di Yogyakarta, pada tanggal 2 Januari 1962 Presiden Soekarno mengeluarkan Keputusan Nomor 1/1962 yang isinya membentuk Komando Mandala untuk membebaskan Irian Barat bersifat gabungan. Kemudian Presiden Soekarno menunjuk Brigadir Jenderal (Brigjen) Soeharto dan menaikkan pangkatnya menjadi Mayor Jenderal (Mayjen), sebagai Deputy Wilayah Indonesia Timur dan Panglima Komando Mandala Pembebasan Irian Barat. Mayor Jenderal Soeharto dilantik oleh Presiden Soekarno pada tanggal 13 Januari 1962 di Istana Bogor.
Setelah Trikora dikomandokan di Yogyakarta, pada tanggal 2 Januari 1962 Presiden Soekarno mengeluarkan Keputusan Nomor 1/1962 yang isinya membentuk Komando Mandala untuk membebaskan Irian Barat bersifat gabungan. Kemudian Presiden Soekarno menunjuk Brigadir Jenderal (Brigjen) Soeharto dan menaikkan pangkatnya menjadi Mayor Jenderal (Mayjen), sebagai Deputy Wilayah Indonesia Timur dan Panglima Komando Mandala Pembebasan Irian Barat. Mayor Jenderal Soeharto dilantik oleh Presiden Soekarno pada tanggal 13 Januari 1962 di Istana Bogor.
Pertempuran Laut Aru, 15 januari 1962
Tiga
buah kapal Motor Terpedo Boat (MTB) ALRI, yaitu KRI Macan Tutul, KRI Macan
Kumbang, dan KRI Harimau, pada tanggal 15 Januari 1962 melakukan gerakan malam
di sekitar Kepulauan Aru. Gerakan ini bertujuan untuk melakukan infiltrasi
pasukan ke daerah Irian Barat lewat laut. Gerakan kapal ALRI tersebut telah
diketahui oleh dua buah pesawat terbang Belanda jenis Neptune dan Firefly serta
dua kapal perang Belanda jenis Destroyer dan Fregat yang berada pada posisi
jarak 7 mil. Kedua pesawat dan kapal perang tersebut menembakkan peluru suar ke
arah kapal KRI yang segera dibalas kembali oleh KRI Macan Tutul dan KRI
Harimau. Tembakan itu dibalas kembali oleh kedua kapal perang Belanda dan
berkobarlah pertempuran yang tidak seimbang. KRI Macan Tutul terkena tembakan
peluru meriam di bagian anjungan dan lambung yang mengakibatkan kapal tersebut
terbakar dan tenggalam pada pukul 21.40 waktu setempat bersama Komodor aut Yos
Sudarso.
Panglima Mandala sedang memberikan penjelasan
Tugas-tugas Operasi Mandala (1962)
Setelah wewenang diberikan kepada Mayoe Jenderal Soeharto sebagai panglima Komando Mandala, ia segera menyusun Organisasi Komando Mandala dengan ciri-cirinya meliputi wilayah Indonesia Timur, menyelenggarakan operasi-operasi militer pada waktunya dalam rangka Trikora Pembebasan Irian Barat. Sesuai dengan tugas dan fungsinya Mayor Jenderal Soeharto senantiasa memberikan penjelasan kepada para Perwira Stafnya mengenai Operasi Pembebasan Irian Barat.
Setelah wewenang diberikan kepada Mayoe Jenderal Soeharto sebagai panglima Komando Mandala, ia segera menyusun Organisasi Komando Mandala dengan ciri-cirinya meliputi wilayah Indonesia Timur, menyelenggarakan operasi-operasi militer pada waktunya dalam rangka Trikora Pembebasan Irian Barat. Sesuai dengan tugas dan fungsinya Mayor Jenderal Soeharto senantiasa memberikan penjelasan kepada para Perwira Stafnya mengenai Operasi Pembebasan Irian Barat.
1.
Panglima Mandala Melakukan Peninjauan Kekuatan Tempur di garis
Depan (1962)
Berdasarkan suatu konsep, bahwa daerah mandala adalah kawasan perang, maka Panglima Kawasan merangkap sebagai Panglima Komponen. Komponen-komponen utama dari mandala adalah:
Berdasarkan suatu konsep, bahwa daerah mandala adalah kawasan perang, maka Panglima Kawasan merangkap sebagai Panglima Komponen. Komponen-komponen utama dari mandala adalah:
1. Angkatan Darat Mandala (ADLA);
2. Angkatan Laut Mandala (ALLA);
3. ANgkatan Udara Mandala (AULA).
Sehubungan
dengan itu, Panglima Mandala Mayjen Soeharto bersama Panglima Angkatan Laut
Mandala Komodor Laut R. Soedomo mengadakan peninjauan terhadap kekuatan tempur
pasukan Cadangan Umum Angkatan Darat (CADUAD) di salah satu tempat di garis
depan.
Infiltrasi Pasukan Lewat Udara ke Merauke, 24
Juni 1962
Pada
tanggal 24 Juni 1962 dilakukan penerjunan lewat udara sasaran Merauke dengan
Sandhi Operasi Naga di bawah pimpinan Kapten L.B. Moerdani. Penerjunan ini
menggunakan 3 pesawat Hercules C-130 AURI. Pasukan yang diterjunkan terdiri
dari Tim I Detasemen Pasukan Chusus (DPU) RPKAD berjumlah 55 orang dan Kie-2
Yon 530/Brawijaya berjumlah 160 orang. Penerjunan tidak mengenai sasaran yang
diinginkan karena dilakukan pukul 02.00 dinihari, hutannya lebat dan ditumbuhi
pepohonan yang tinggi. Setelah pesawat berputar-putar mulailah dilakukan
penerjunan. Tim I RPKAD bersama Komandan Operasi jatuh di sebelah timur Kombe
dan 9 orang lagi jatuh di sebelah barat sungai itu. Sedangkan Kie-2 Yon
530/Brawijaya jatuh di sebelah timur Sungai Maro.
Penyerahan Irian Barat dari Belanda ke UNTEA,
15 Agustus 1962
Hasil
dari persetujuan New York pada tanggal 15 Agustus 1962, selambat-lambatnya
tanggal 31 Mei 1963 Pemerintahan Irian Barat diserahkan kepada PBB yang
diwakili oleh UNTEA. Perjanjian ini ditandatangani oleh Menteri Luar Negeri RI
dan Menteri Luar Negeri Belanda Dr. J. Luns yang diwakili oleh Duta Besar
belanda di PBB Dr. Van Rojen. Tanggal 31 Desember 1962 bendera kerajaan Belanda
diturunkan dan diganti dengan bendera PBB dan Bendera Sang Merah Putih. Sejak
itu berakhirlah kekuasaan Belanda di daratan Irian Barat.
Penyerahan Irian Barat dari UNTEA ke Republik
Indonesia, 1 Mei 1963
Pada
tanggal 1 Mei 1963 dilaksanakan penyerahan kekuasaan pemerintahan Irian Barat
dari UNTEA kepada Pemerintah Republik Indonesia oleh Dr. Djalal Abduh kepada
pihak Indonesia yang diwakili oleh Mr. Sudjarwo Tjondronegoro dan utusan PBB di
Hollandia. Penyerahan kekuasaan itu ditandai dengan penurunan bendera UNTEA dan
pengibaran Sang Saka Merah Putih, yang dilanjutkan dengan defile pasukan dari
Pakistan, APRI, Polisi Papua di Irian Barat dan diikuti oleh demonstrasi
pesawat terbang AURI dari berbagai jenis antara lain Tu-16 KS.
Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) Irian
Barat, Juli 1969
Pada
tanggal 15 Agustus 1962 di New York diadakan penandatanganan persetujuan
penyelesaian konflik Irian Barat antara RI dengan Belanda. Dalam persetujuan
itu antara lain disebutkan bahwa Indonesia menyetujui untuk memberikan
kesempatan rakyat Irian Barat menyatakan pilihannya secara bebas,
selambat-lambatnya tujuh tahun setelah pemerintahan berada di tangan Indonesia.
Pelaksanaan kegiatan ini dibantu oleh PBB. Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA)
dilaksanakan bulan Juli 1969.
Catatan Sejarah Makassar di Monumen Mandala:
Perang Makassar
melawan Belanda di bawah Pimpinan Sultan Hasanuddin, 1666-1669
Pertempuran seru memperebutkan
Benteng Somba Opu yang menjadi kegiatan kerajaan Gowa di Makassar. Pertempuran
ini terjadi pada tahun 1668. Dari pihak Belanda tewas antara lain seorang
Kapten bernama David Steiger serta menghancurkan dua buah sekoci, sebuah kapal
Belanda dan menewaskan kurang lebih 180 orang pasukan Belanda. Pada peristiwa
ini rakyat Gowa di bawah pimpinan Sultan Hasanuddin sedangkan pihak Belanda
dipimpin Speelman. Akhirnya pada tanggal 24 Juni 1669 Benteng Somba Opu jatuh
ke tangan Belanda. Walaupun demikian Belanda mengakui atas keberanian para
pahlawan Gowa di bawah Pimpinan Sultan Hasanuddin sehingga Belanda memberi
julukan sebagai "Ayam-ayam jantan Benua Timur".
Perlawanan Rakyat Wajo terhadap Belanda di bawah Pimpinan La maddukelleng, 1736-1741
Usaha Belanda menaklukan Wajo telah dihadapi oleh La Maddukelleng selaku Arung Matowa Wajo. Sementara itu pasukan Belanda dipimpin Gubernur Admiral Smout berangkat dari Cenrana menyusuri sungai Topace'do mendarat di daerah Tonrange untuk menyerang kedudukan La Maddukelleng di Tosara. La Maddukelleng segera menyerang kedudukan Belanda di Tonrange. Terjadilah pertempuran sengit di tepi sungai Topace'do daerah Tonrange. Tosara pada tanggal 3 Maret 1741 sebagaimana digambarkan dalam diorama. Serangan pendadakan ini menyebabkan kedudukan Belanda porak poranda. Beberapa pucuk meriam dan senjata lainnya berhasil dirampas, 100 prajurit Belanda yang disebut Paccillocillo (pemakai topi) berhasil dibunuh. Hal ini menyebabkan Gubernur Admiral Smout pada tanggal 21 April 1741 menarik mundur pasukannya ke Makassar.
Perlawanan Rakyat Mandar di bawah Pimpinan Maradia Tokape menghadapi ekspedisi Belanda, 1890
Untuk memperlancar kegiatan ekonomi Belanda berusaha menguasai daerah Mandar penghasil kopra terbesar di Sulawesi Selatan. Diantara kerajaan Mandar, Kerajaan Balanipa merupakan basis terkuat perlawanan rakyat Mandar dalam menolak kekuasaan Belanda. Untuk itu Belanda mengajak kerjasama dengan Maradia Tokape dari Balanipa. Namun beliau menolak bahkan mengadakan perlawanan terhadap Belanda dengan cara menghadang Pasukan Belanda yang mendarat di Majene. Meskipun Istana dipertahankan dengan sengit akhirnya Maradia Tokape beserta pasukan pengawalnya berhasil ditangkap Belanda yang kemudian dibawa ke Makassar selanjutnya ke Jakarta dan akhirnya dibuang ke Pacitan, Jawa Timur.
Perlawanan Rakyat Wajo terhadap Belanda di bawah Pimpinan La maddukelleng, 1736-1741
Usaha Belanda menaklukan Wajo telah dihadapi oleh La Maddukelleng selaku Arung Matowa Wajo. Sementara itu pasukan Belanda dipimpin Gubernur Admiral Smout berangkat dari Cenrana menyusuri sungai Topace'do mendarat di daerah Tonrange untuk menyerang kedudukan La Maddukelleng di Tosara. La Maddukelleng segera menyerang kedudukan Belanda di Tonrange. Terjadilah pertempuran sengit di tepi sungai Topace'do daerah Tonrange. Tosara pada tanggal 3 Maret 1741 sebagaimana digambarkan dalam diorama. Serangan pendadakan ini menyebabkan kedudukan Belanda porak poranda. Beberapa pucuk meriam dan senjata lainnya berhasil dirampas, 100 prajurit Belanda yang disebut Paccillocillo (pemakai topi) berhasil dibunuh. Hal ini menyebabkan Gubernur Admiral Smout pada tanggal 21 April 1741 menarik mundur pasukannya ke Makassar.
Perlawanan Rakyat Mandar di bawah Pimpinan Maradia Tokape menghadapi ekspedisi Belanda, 1890
Untuk memperlancar kegiatan ekonomi Belanda berusaha menguasai daerah Mandar penghasil kopra terbesar di Sulawesi Selatan. Diantara kerajaan Mandar, Kerajaan Balanipa merupakan basis terkuat perlawanan rakyat Mandar dalam menolak kekuasaan Belanda. Untuk itu Belanda mengajak kerjasama dengan Maradia Tokape dari Balanipa. Namun beliau menolak bahkan mengadakan perlawanan terhadap Belanda dengan cara menghadang Pasukan Belanda yang mendarat di Majene. Meskipun Istana dipertahankan dengan sengit akhirnya Maradia Tokape beserta pasukan pengawalnya berhasil ditangkap Belanda yang kemudian dibawa ke Makassar selanjutnya ke Jakarta dan akhirnya dibuang ke Pacitan, Jawa Timur.
Perlawanan Rakyat Bone terhadap Belanda di
bawah Pimpinan Raja La Pawawoi Karaeng Segeri, 1905
Kerajaan
Bone merupakan salah satu kerajaan terkemuka di Sulawesi Selatan yang juga
gigih menentang kekuasaan penjajahan Belanda. Dalam upaya melumpuhkan kekuatan
kerajaan Bone, Belanda lebih kurang empat kali mengadakan penyerangan terhadap
Bone yang dikenal dengan sebutan Bonische Expedition (Ekspedisi Bone) yang
dilaksanakan Belanda melalui laut. Pada saat Kerajaan Bone diperintah oleh Raja
Bone XXXI bernama La Pawawoi Karaeng Segeri, perlawanan terhadap Belanda
mencapai puncaknya. Ia bergerilya melawan Belanda meliputi daerah Bone, Wajo,
Sidenreng dan Pare-Pare (dari Watampone sampai Pantai Makassar) dengan cara
ditandu karena usia lanjut (80 tahun) dengan dikawal puteranya sendiri bernama
Petta Punggawa. Dalam pertempuran di Batu daerah Pitu Ri Ase wilayah kerajaan
Sidenreng puteranya yang setia tewas dan Karaeng Segeri berhasil ditangkap
tidak jauh dari tempat puteranya tewas. Akhirnya ia diasingkan ke Bandung terus
ke Jakarta dan meninggal pada tanggal 17 Januari 1911 di Jakarta.
Perlawanan Rakyat Tana Toraja terhadap Belanda
di pimpin oleh Pong Tiku, 1906
"Moka Ulungku, Moka Lettekku Naparenta To Buta" artinya "Kaki dan tanganku tak mau dijajah oleh orang buta (Belanda)", itulah ucapan Pong Tiku ketika ia menolak panggilan Belanda. Konsekuensinya Pong Tiku harus bersiap-siap menerima serangan Belanda, dan terjadilah pertempuran bulan Juni 1906 di Desa Ledan. Dalam menghadapi Belanda, Pong Tiku melaksanakan perang gerilya, berpindah-pindah dari satu kubu ke kubu yang lain, dari gunung Kado ke Rinding Allo, akhirnya pindah ke Lali'londong. Pada tanggal 7 Juli 1907 Ambo Dake yang diutus oleh Puang Randanan menemui Pong Tiku di Gua Batu tempat persembunyiannya, diam-diam dibuntuti pasukan Belanda dan berhasil menyergap Pong Tiku saat keluar dari Gua, lalu dibawa ke Rantepao. Tiga hari kemudian, tanggal 10 Juli 1907 Pong Tiku ditembak mati oleh Belanda di tepi sungai Sa'dang di pinggir Kota Rantepao.
"Moka Ulungku, Moka Lettekku Naparenta To Buta" artinya "Kaki dan tanganku tak mau dijajah oleh orang buta (Belanda)", itulah ucapan Pong Tiku ketika ia menolak panggilan Belanda. Konsekuensinya Pong Tiku harus bersiap-siap menerima serangan Belanda, dan terjadilah pertempuran bulan Juni 1906 di Desa Ledan. Dalam menghadapi Belanda, Pong Tiku melaksanakan perang gerilya, berpindah-pindah dari satu kubu ke kubu yang lain, dari gunung Kado ke Rinding Allo, akhirnya pindah ke Lali'londong. Pada tanggal 7 Juli 1907 Ambo Dake yang diutus oleh Puang Randanan menemui Pong Tiku di Gua Batu tempat persembunyiannya, diam-diam dibuntuti pasukan Belanda dan berhasil menyergap Pong Tiku saat keluar dari Gua, lalu dibawa ke Rantepao. Tiga hari kemudian, tanggal 10 Juli 1907 Pong Tiku ditembak mati oleh Belanda di tepi sungai Sa'dang di pinggir Kota Rantepao.
Perlawanan Rakyat dipimpin Jemma di Palopo, 23
Januari 1946
Disini terjadi dua kali perlawanan Rakyat Luwu di Palopo pada tanggal 23 Januari 1946. Pertama, kedatangan pasukan NICA (KNIL) bersama dengan pasukan Australia yang datang di Palopo untuk mengambil tahanan perang dan pasukan Jepang. Kedua, rakyat yang marah dengan pasukan KNIL yang mengotori Masjid BUA dengan tidak membuka sepatunya, dan menghidakan Al-Quran, dan menembaki masjid dengan senjatanya. Andi Jemma Datu Luwu memerintahkan agar rakyat menyerang kembali pasukan asing tersebut setelah ultimatum yang diberikan kepada KNIL tidak dihiraukan ke barak-baraknya. Penyerangan ini sedikit menghancurkan pasukan asing di Palopo.Oleh karena itu, jika anda berkunjung ke Kota Makassar, tidak ada salahnya untuk mampir ke Momumen Mandala. Sedikit banyak kunjungan tersebut dapat membangkitkan rasa nasionalisme sebagai rakyat indonesia. Mengenang kalimat pemimpin besar revolusi Soekarno “Jangan sesekali melupakan sejarah, apalagi sejarah di negeri sendiri”. Berangkat dari kalimat tersebut, Lembaga Budaya dan Lembaga Pelatihan dan Penelitian Pimpinan Daerah Aisyiyah Kota Makassar yang diketuai oleh Dr. Siti Aidah Asis, M. Pd. Dan Dra. Munirah, M. Pd. melakukan kunjungan tepatnya pada tanggal 08 September 2013.
Disini terjadi dua kali perlawanan Rakyat Luwu di Palopo pada tanggal 23 Januari 1946. Pertama, kedatangan pasukan NICA (KNIL) bersama dengan pasukan Australia yang datang di Palopo untuk mengambil tahanan perang dan pasukan Jepang. Kedua, rakyat yang marah dengan pasukan KNIL yang mengotori Masjid BUA dengan tidak membuka sepatunya, dan menghidakan Al-Quran, dan menembaki masjid dengan senjatanya. Andi Jemma Datu Luwu memerintahkan agar rakyat menyerang kembali pasukan asing tersebut setelah ultimatum yang diberikan kepada KNIL tidak dihiraukan ke barak-baraknya. Penyerangan ini sedikit menghancurkan pasukan asing di Palopo.Oleh karena itu, jika anda berkunjung ke Kota Makassar, tidak ada salahnya untuk mampir ke Momumen Mandala. Sedikit banyak kunjungan tersebut dapat membangkitkan rasa nasionalisme sebagai rakyat indonesia. Mengenang kalimat pemimpin besar revolusi Soekarno “Jangan sesekali melupakan sejarah, apalagi sejarah di negeri sendiri”. Berangkat dari kalimat tersebut, Lembaga Budaya dan Lembaga Pelatihan dan Penelitian Pimpinan Daerah Aisyiyah Kota Makassar yang diketuai oleh Dr. Siti Aidah Asis, M. Pd. Dan Dra. Munirah, M. Pd. melakukan kunjungan tepatnya pada tanggal 08 September 2013.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar